Selasa, 02 Maret 2010

SEPENGGAL KISAH UNTUK KITA RENUNGKAN


Suatu saat aku pernah ditanya oleh seorang teman, sahabat,” Apa aku salah apabila aku sampai saat ini masih belum rela menerima kematian Ayahku”. Segera saja aku menjawab,” Tidak, sejujurnya sampai saat ini aku juga masih merasa kehilangan ayahku yang meninggal sekitar tahun 2000 lalu dan masih membutuhkan bimbingan , walupun aku sendiri sekarang menjadi ayah “.
Gelap rasa dunia ini, malas, tak punya semangat menjalani hari-hari yang berlalu, entahlah serasa semuanya hilang, hancur, mati. Salahkah aku yang masih membutuhkan sosok seorang ayah dan kakek bagi anakku ? Akan tetapi semua itu harus terjadi dan menjadi bagian dari perjalanan hidupku, dan mungkin ini juga terjadi peda teman, sahabat, dan siapa saja yang telah ditinggal mati oleh bapak, ibu, suami, istri, anak, atau semua sanak keluarga. Akan tetapi ada baiknya kita simak sepenggal kisah berikut.


Ketika Alasy’ats bin Qais menghadapi kematian anaknya, Ali bin Abi Thalib r.a, turut menyampaikan ucapan bela sungkawa. Ia berkata, “Kalau engkau merasa bersedih atas kematian anakmu, maka hal itu sudah sepatutnya karena adanya hubungan kerahiman. Tapi kalau engkau bersabar karena Allah, pasti ada imbalan pahala. Jika engkau tidak sabar, takdirpun tetap berlaku sedangkan engkau berdosa.


Wahai , Asy’ats. Anakmu membahagiakan kamu ketika dia lahir, dan dia adalah kesusahan dalam asuhan dan pendidikan, juga fitnah bagimu karena kecintaanmu yang berlebihan kepadanya. Kini, dengan wafatnya, dia menjadi renungan kesedihan bagimu. Dan yang demikian itu adalah pahala serta rahmad Allah. (dikutip dari Hikmah dalam Humor, Kisah dan Pepatah, Abdul aziz salim basyrahil).


Hidup tidak ada yang abadi, semua makhluk hidup termasuk manusia , akan mengalami kematian. Kematian itu datangnya tiba-tiba, tak ada yang tahu. Tak bisa dimajukan atau dimundurkan walau sesaat, Allah telah berfirman di dalam Al-Quran, “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenarnya.